Tidak ada yang lebih indah dibanding masa muda. Ketika kau bisa berlari secepat yang kau mau, bisa merasakan perasaan sedalam yang kau inginkan, tanpa perlu khawatir jadi masalah. (Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah – Tere Liye : 132)
512 halaman dalam Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah dari Tere Liye membuka pemahaman tentang cinta, cita-cita, hingga prinsip hidup seorang Borno (berasal dari kata Borneo. E-nya hilang karena orang-orang lebih mudah menyebut Borno).
Borno hidup di tengah keluarga nelayan tangguh. Karakter Borno ini istimewa, dia dikenal sebagai bujang yang memiliki hati paling lurus sepanjang Sungai Kapuas.
Berpuluh kali diumpat, disuruh-suruh, diplonco oleh tokoh bernama Bang Togar, tak sekali pun Borno mengeluh atau marah. Hatinya tetap lurus. Hati lurus Borno ini membuat kisah cintanya dengan Mei, si gadis berpayung merah, terasa menggemaskan. Rusuh sendiri.
Tokoh Pak Tua yang bijak juga dihadirkan untuk menyampaikan pesan-pesan mengenai cinta sejati dan pemahaman hidup yang baik. Sangat membantu tokoh utama untuk bertransformasi menjadi sosok yang makin baik seiring waktu.
Tidak terkesan menggurui karena karakter Pak Tua yang kadang usil, malah semakin memeriahkan cerita.
Setting cerita berlangsung di sekitaran Sungai Kapuas, yang merupakan sungai paling panjang dan luas di Kalimantan. Selain itu, cerita juga bergulir sejenak di Istana Kadariah.
Lantas mampir di Surabaya sewaktu Borno menemani Pak Tua terapi asam urat di kota ini. Mengajak pembaca untuk plesiran di tempat-tempat menarik di kota Surabaya.
Novel ini mengenalkan istilah-istilah yang akrab di kehidupan nelayan, seperti sepit (yang berasal dari kata speed), sebutan untuk perahu kayu yang bermesin tempel. Istilah semacam internal combustion engine, Guide for Internal Combustion Engine, mesin tempel, mesin penggerak, transmisi dan propeler tumpah ruah di beberapa bagian cerita.
Meski tema utama cerita ini adalah cerita cinta, lengkap dengan filosofi akan cinta sejati, Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah, juga bercerita tentang pencarian jati diri. Tokoh utama Borno, berkali-kali bergonta ganti pekerjaan, sampai pernah menjadi saksi langsung tindakan korupsi di kapal feri.
Banyak orang yang kantornya wangi, sepatu mengilat, baju licin disetrika, tapi boleh jadi busuk dalamnya. Dimakan hanya menyumpal perut, tumbuh jadi daging keburukan dan kebusukan. (Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah – Tere Liye : 42)
Sampai kemudian, saat Borno diajari menjadi montir di bengkel bapak Andi, Borno merasakan sesuatu yang lain. Saat berjibaku dengan peralatan bengkel, dia tak kepayahan sama sekali. Seakan-akan tanpa diajari pun, memperbaik motor dan mobil memang sudah menjadi kemampuan alaminya.
Karakter Borno mengajari pembaca untuk tak pantang menyerah sekaligus mensyukuri pekerjaan yang telah dimiliki. Melakukan yang terbaik, hingga kemudian berada di posisi terbaik.
Yang juga spesial dari novel ini, ada selingan tentang radio di warung pisang goreng di pinggir Sungai Kapuas yang me-relay siaran berita RRI. Penulis membayangkan siaran RRI menjadi semacam backsound untuk kisah cinta Borno dan Mei.