Judul: Cafe Lover
Penulis: Rosyidina Afifah
Penerbit: de Teens
Terbit: Juni 2016
Tebal: 268 halaman
ISBN: 978-602-3911-790
Blurb
Berawal dari insiden kantong belanja yang tertukar, Ersen
bertemu dengan Adile, gadis periang yang mendalami lukisan aliran surealis.
Setiap tiga hari, Adile mengunjungi Ersen di Kafe Velvet, tempat pria itu
bekerja.
Suatu ketika, Adile menjanjikan sebuah kejutan pada ulang tahun Ersen, tepat
seminggu lagi. Ersen amat tak sabar dengan itu. Ia penasaran, kejutan seperti
apa yang disiapkan Adile untuknya. Di hari ulang tahunnya, Ersen mendapatkan
kejutan yang lain. Adile menghilang. Ia tak datang di Kafe Velvet, tempat Ersen
bekerja.
Kenapa? Apa yang terjadi pada Adile? Begitulah tanya Ersen setiap hari. Rasa
tanya itu menghantuinya, menuntut jawaban. Akankah Ersen mendapatkan jawaban
dari segala tanyanya akan Adile?
REVIEW NOVEL
Kisah dalam novel ini dimulai dari kejadian di mana kantong belanja Ersen –yang berisi bahan-bahan membuat kue– tertukar dengan kantong belanja seorang gadis bernama Adile Nadi –yang berisi seperangkat peralatan lukis.
Singkat cerita, setelah sebelumnya Ersen mencoba menghubungi Adile beberapa kali, bertemulah keduanya di area Menara Galata untuk mengembalikan kantong belanjaan masing-masing.
Namun, ternyata cerita tak berhenti di situ. Beberapa waktu kemudian, setelah pertemuan pertama, mereka kembali bertemu secara tak sengaja di sebuah pusat perbelanjaan. Dari situ, keduanya pun mencoba untuk saling mengenal lebih dekat. Setiap tiga hari sekalinya, Adile akan datang ke Kafe Velvet, sebuah kafe bernuansa vintage tempat Ersen bekerja.
Emosi cerita mulai naik saat tiba-tiba Adile menjanjikan sebuah kejutan pada Ersen, tepat seminggu sebelum Ersen ulang tahun. Tapi, ternyata “kejutan” yang diterima Ersen sangat di luar dugaan. Sementara itu, bagi Adile sendiri pun apa yang terjadi saat itu sama sekali bukanlah kejutan yang dimaksudkannya untuk diberikan pada Ersen.
Short story, sejak saat itu sedikit banyak hidup Ersen terasa berbeda. Ia lebih banyak murung daripada biasanya. Bahkan, ia memutuskan untuk resign dari Kafe Velvet agar kenangan akan Adile tak lagi membayangi. Namun, hasilnya tetap saja nihil. Ke mana pun ia pergi, sosok Adile selalu lekat dalam pikirannya.
Pertanyaannya kemudian adalah “apakah yang sebetulnya terjadi pada Adile?”. Dan itulah yang berusaha penulis tawarkan kepada pembaca novel ini. Secara sepintas, dari sekedar membaca blurb-nya, novel ini memang terkesan “menjual” akhir ceritanya saja. Namun, sebetulnya tidak. Sebab, ada twist kecil yang kemudian “memutarbalikkan” cerita –meski bagi saya, twist ini dapat tertebak.
Secara konten, novel berlalurkan maju ini dan ditulis melalui sudut pandang orang ketiga ini memang tak ada masalah. Hanya saja, bagi saya pribadi agak sayang rasanya karena Distrik Galata, Istanbul –yang dijadikan latar tempat– terasa kurang dieksplor lebih dalam. Meski sebetulnya toh tidak masalah juga karena yang dijadikan fokus di sini bukan pada latarnya. Tapi, tetap saja sayang, apanila hanya menjadikan latar sebagai sebatas “latar” saja.