Di tengah gempuran teknologi yang kian canggih, ketika gawai bisa menyimpan ribuan buku dalam genggaman, satu pertanyaan terus menggema: mengapa buku cetak belum punah? Bahkan, di banyak tempat, ia justru tumbuh, hidup, dan disayang.
Lebih dari Sekadar Lembaran Kertas Buku cetak bukan hanya media baca, ia adalah pengalaman. Bunyi lembut saat halaman dibalik, aroma khas kertas yang menua, hingga bobot nyata di tangan—semua menciptakan keterikatan emosional yang tak tergantikan layar.
Menurut studi dari The Guardian, otak manusia ternyata lebih mudah menyerap informasi dari buku fisik dibanding digital. Aktivitas membaca di media cetak memicu fokus mendalam, sementara membaca di layar kerap terganggu notifikasi atau cahaya terang.
Toko Buku: Ruang Rindu yang Terus Dihidupkan
Di kota-kota besar hingga pelosok desa, toko buku independen tetap berdiri. Beberapa bahkan menjelma jadi ruang komunitas. Seperti Post Santa di Jakarta atau Toko Buku Toga Mas di Yogyakarta yang tak hanya menjual buku, tapi menghidupkan diskusi, puisi, dan kopi hangat.
Para pembaca setia juga punya alasan personal. "Buku cetak punya jiwa. Aku bisa menulis catatan di pinggir halaman, memberi pembatas bunga kering, atau sekadar memeluknya saat sedih," ujar Fitri, seorang pustakawan di Lamongan.
Antara Praktis dan Romantis Buku digital memang praktis. Bisa dibaca kapan saja, lebih murah, dan ringan dibawa bepergian. Tapi buku cetak menawarkan slow reading, proses membaca dengan hati-hati dan penuh makna—sesuatu yang kian langka di era serba cepat ini.
Bertahan, Bukan Melawan Pertarungan antara buku cetak dan digital sebenarnya bukan perang, melainkan proses adaptasi. Kini, banyak penulis dan penerbit menggabungkan keduanya: buku cetak untuk sensasi personal, digital untuk jangkauan luas.
Di akhir hari, mungkin bukan soal format, tapi tentang bagaimana cerita menyentuh kita. Dan sejauh ini, buku cetak masih menjadi cara paling manusiawi untuk meresapi kisah.