REFLEKSI HARI PENDIDIKAN NASIONAL: MENYEMAI KEMBALI API PEMIKIRAN KI HAJAR DEWANTARA

Informasi 02 Mei 2025 2
REFLEKSI HARI PENDIDIKAN NASIONAL: MENYEMAI KEMBALI API PEMIKIRAN KI HAJAR DEWANTARA
Setiap tanggal 2 Mei, bangsa Indonesia memperingati Hari Pendidikan Nasional, sebuah momentum yang bukan hanya sekadar seremoni tahunan, melainkan momen refleksi terhadap perjalanan panjang pendidikan kita. Tanggal ini dipilih untuk menghormati kelahiran Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hajar Dewantara—sosok visioner yang tak hanya memperjuangkan hak belajar bagi rakyat, tapi juga menanamkan filosofi luhur tentang kemerdekaan berpikir dan keberadaban jiwa dalam pendidikan.

Ki Hajar Dewantara pernah berkata, “Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.” Ungkapan ini bukan sekadar slogan, melainkan inti dari paradigma pendidikan yang holistik dan manusiawi. Dalam pandangannya, pendidikan tidak boleh menjadi alat penindasan, melainkan jalan pembebasan. Ia menentang keras sistem kolonial yang hanya mengizinkan segelintir elite mengakses ilmu, dan sebagai gantinya, ia mendirikan Taman Siswa—sebuah taman belajar yang mengusung semangat kebangsaan, kebebasan berpikir, dan kesetaraan.

Namun kini, hampir seabad sejak Taman Siswa berdiri, kita masih bergelut dengan persoalan yang, secara esensial, tidak jauh berbeda. Ketimpangan akses pendidikan, komersialisasi ilmu, dan krisis karakter di kalangan pelajar menandakan bahwa semangat Ki Hajar belum sepenuhnya kita warisi. Pendidikan kita terlalu sering terjebak dalam logika angka—nilai ujian, akreditasi, ranking global—namun mengabaikan pembentukan manusia seutuhnya. Dalam kerangka ini, ajaran Ki Hajar Dewantara terdengar seperti bisikan di tengah gemuruh mesin-mesin birokrasi dan pasar.

Hari Pendidikan Nasional seharusnya menjadi cermin untuk menatap wajah pendidikan kita hari ini dengan jujur. Sudahkah pendidikan kita memanusiakan manusia? Sudahkah guru-guru kita menjadi teladan, penggerak, dan pendorong lahirnya karsa merdeka pada setiap peserta didik? Atau justru kita sibuk mencetak generasi penghafal tanpa jiwa, pelaksana tanpa nurani? Di tengah kemajuan teknologi dan disrupsi informasi, tantangan ini menjadi semakin kompleks. Tetapi seperti yang diyakini Ki Hajar, pendidikan bukan tentang mengikuti zaman secara membuta, melainkan membentuk manusia yang mampu mengolah zaman dengan budinya.

Refleksi ini mengajak kita untuk kembali menyemai nilai-nilai dasar pendidikan: cinta tanah air, kejujuran, gotong royong, dan keberanian untuk berpikir merdeka. Menjadi pendidik hari ini tak cukup hanya dengan menguasai teknologi atau metode pedagogi mutakhir, tetapi harus siap menjadi pelita dalam kegelapan, memberi harapan di tengah kekosongan makna. Pendidikan harus kembali menjadi gerakan kultural yang membebaskan, bukan hanya sistem administratif yang mengekang.

Dengan semangat Hari Pendidikan Nasional, marilah kita menoleh sejenak ke belakang, menatap warisan Ki Hajar Dewantara bukan sebagai nostalgia, tetapi sebagai obor yang menerangi jalan ke depan. Sebab, selama kita masih percaya bahwa pendidikan adalah jalan untuk memuliakan manusia, maka selama itu pula api pemikiran Ki Hajar akan tetap menyala. Dan dari sanalah kita akan terus belajar—bukan hanya menjadi pintar, tetapi juga menjadi bijak. Sudahkah kita mendidik dengan hati, seperti yang dicita-citakan oleh Sang Guru Bangsa?

DINAS KEARSIPAN DAN PERPUSTAKAAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN

  • Jl. Basuki Rahmad No. 178 Lamongan
  • dinarpustaka@lamongankab.go.id
  • (0322) 311106
© 2025 Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Daerah Kabupaten Lamongan