Judul: Hujan Pertama untuk Aysila
Penulis: Edi AH Iyubenu
Terbit: Maret 2015
Penerbit: DIVA Press
Jumlah halaman: 182
Blurb
Suara kecil dari balik jendela kafe yang terkuak di sebelah kursi Aysila itu terdengar begitu lamat. Nyaris punah ditelan bising hujan. Suara yang amat dikenal Aysila dengan baik, yang begitu karib dengan hari-harinya.
Setelah diam beberapa jenak untuk berpikir, Aysila menjulurkan kedua lengannya ke luar jendela, memenuhi pinta suara yang lirih itu. Ia biarkan tubuhnya ditarik dari luar dan hinggap sempurna dalam pelukan tubuh yang hangat itu.
Hujan kian mengendur. Hujan kian menyusut. Tapi tidak dengan sepasang kelopak mata Aysila yang katup. Air hangat yang tak lagi sanggup dibendung tanggul hatinya yang kian nganga dibabat luka begitu deras menetas di pematang matanya. Berjatuhan ke pipinya, lalu sebagiannya hinggap ke dagu dan lehernya, dan sebagian lainnya jatuh ke tanah, larut bersama air hujan, kemudian lesat entah ke mana…
Buku ini kumpulan cerpen sastra. Selalu memberikan "rasa" tersendiri saat membacanya. Cerpen sastra selalu membebaskan imajinasi; absurditas dan surealisme serta ending yang tragis dan nuansa kelam adalah hal yang lazim ditemui. Saya suka membaca cerpen sastra--cerpen ya, bukan novel--karena impresi yang ditinggalkan selalu mengena.
Cerpen-cerpen sastra di kumcer ini cukup menyenangkan untuk dibaca. Saya suka diksi dan gaya bahasanya, dan jadi tergerak untuk mencari arti kata "melindap" di KBBI karena kata itu hampir selalu ada di setiap cerpen. (Ngomong-ngomong, artinya "meredup".) Saya juga suka timeline dalam cerpennya yang khas sastra sekali; kadang dibuat bercampur dan kabur (nonlinear).
Yang saya agak kurang suka hanya repetisi temanya. Sebagian besar cerpen di sini bertema "menunggu". Memang, sesuai anak judul bukunya, jadi seharusnya saya sudah bisa menduga. Anyway, eksplorasi tema itu sangat beragam. Tetap saja, dasarnya serupa. Apalagi nama tokohnya kebanyakan itu-itu saja: Aysila Dilara, Pamuk, Stefany, Akhiles. Unik sih, bisa menjelmakan satu nama untuk berbagai karakter dalam satu kumcer. Hal seperti ini belum pernah saya temui di kumcer mana pun. Tapi rasa bosan itu tetap sedikit ada.
Semua feel cerpennya sama sehingga tidak ada yang menonjol. Mungkin karena kumcer ini ditulis oleh satu orang. Tapi saya punya bagian favorit, yaitu kata pengantar dari Mas Edi di depan. Cerdas dan berisi sekali. Terutama saya suka bagaimana Mas Edi menguraikan bahwa menulis yang berpikir beda dengan menulis yang hanya berangan-angan.